Ritme Metafisik Puisi-puisi A. Mustofa Bisri
Oleh Abdul Wachid B.S.
____________________________________________________________________
Di dalam buku kumpulan sajak yang ke-3, Pahlawan dan Tikus (Cet.I-1995, Pustaka Firdaus, Jakarta; Cet.II-2005, Hikayat Publishing, Yogyakarta), A. Mustofa Bisri membagi sajak-sajak ke dalam judul-judul subbab ini : “Puisi-puisi Gelap”, “Puisi-puisi Remang-remang”, “Puisi-puisi Agak Terang”, “Puisi-puisi Terang”, “Puisi Terang-terangan”, dan “Puisi Penerang”.
Hal tersebut bukannya tanpa maksud.
Pertama, judul subbab-subbab itu dapat dimaknakan sebagai kelakar sekaligus “mbeling” mengkritisi fenomena beberapa penyair yang senang saling memperdebatkan madzab gaya kepuitisan masing-masing. Satu sama lain merasa bahwa gaya kepuitisannyalah yang paling “sastra” sehingga menisbikan gaya kepuitisan selainnya.
Dari situlah kemudian muncul istilah untuk melabeli gaya keputisannya sebagai “Puisi-puisi Terang”, “Puisi Terang-terangan”, dan “Puisi Penerang”, atau melabeli gaya kepuitisan penyair lain untuk mengejek sebagai “Puisi-puisi Gelap”, “Puisi-puisi Remang-remang”, dan “Puisi-puisi Agak Terang”. Bagi perpuisian A. Mustofa Bisri, fenomena tersebut dapat digunakan untuk mempersepsi dan memposisikan puitikanya (dalam sembilan kumpulan sajak) di tengah fenomena perpuisian Indonesia.
Pada dekade 1980-1990-an fenomena “puisi gelap” mendapatkan perhatian besar dari sastrawan dan kritikus sehingga menjadi polemik panjang di Harian Republika. Polemik tersebut sebagai akibat respon terhadap maraknya perpuisian Indonesia, yang dimuat di media massa, mengalami “penggelapan imaji” sehingga puisi menjadi sulit ditembus pemaknaannya. Polemik tersebut dipicu oleh artikel Sutardji Calzoum Bachri (Republika, 2 Januari 1994), kemudian ditanggapi oleh berbagai kalangan sastrawan dan kritikus. Penulis sendiri juga sempat menanggapi polemik tersebut, yakni mengaitkan antara “puisi gelap” dengan gaya kepuitisan surealistis yang digali oleh Sutardji Calzoum Bachri melalui estetika mantra.
Apa yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri itu berpengaruh kepada perpuisian dekade 1980-1990-an, salah satu penyair yang berhasil mengembangkannya sehingga menjadi puitika yang khas ialah kumpulan sajak Abad Yang Berlari (1984) karya Afrizal Malna. Kemudian, Afrizal Malna pun mengembangkan puitika yang lebih rumit lagi dalam kumpulan sajak berikutnya Yang Berdiam dalam Mikropon (1990) dan seterusnya. Penulis juga berpendapat bahwa fenomena “Sajak Gelap” di era 1980-1990-an itu merupakan ekspresi estetik dan etik masyarakat pada era kekuasaan rejim Orde Baru Soeharto “sebab berterang-terang dapat dinilai mengusik kenyamanan dan keamanan hidup berbudaya, dan karenanya berdampak pencekalan” (Wachid B.S., 2005:49-54).
“Puisi-puisi Remang-remang” ini diambil dari judul artikel Sapardi Djoko Damono “Keremang-remangan Suatu Gaya” (1999:156-167) tatkala membaca dan menilai perpuisian awal Abdul Hadi W.M. dalam Laut Belum Pasang (1971). Akhirnya, “Keremang-remangan Suatu Gaya” ini dikenali sebagai bagian dari awal perkembangan perpuisian imajisme di Indonesia, yang oleh Goenawan Mohamad disebutnya sebagai “puisi suasana” dan dihadapkan dengan “puisi ide” (Hoerip, 1982:159-171).
“Puisi-puisi Agak Terang”, “Puisi-puisi Terang”, “Puisi Terang-terangan”, dan “Puisi Penerang”, berawal dari istilah “Puisi-puisi Terang” yang mengalami olok-olok, kemudian dioposisikan dengan “Puisi-puisi Gelap” dan “Puisi-puisi Agak Terang”. Sementara itu, “Puisi Terang-terangan” dimaksudkan sebagai identifikasi dari puisi slogan, puisi mbeling, dan puisi protes sosial, dan “Puisi Penerang” identik dengan apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai sastra transendental dan sastra profetik.
Kedua, sekalipun subjudul kumpulan sajak A. Mustofa Bisri itu “Puisi-puisi Gelap”, “Puisi-puisi Remang-remang”, “Puisi-puisi Agak Terang”, “Puisi-puisi Terang”, “Puisi Terang-terangan”, dan “Puisi Penerang”, tetapi perpuisian A. Mustofa Bisri bisa diidentifikasi dengan subjudul yang terakhir yaitu “Puisi Penerang”, yang diungkapkan dengan gaya kepuitisan “Puisi-puisi Terang”. Mengapa hal tersebut demikian?
Sajak “Hurup-hurup Hidup” berikut ini sekalipun oleh A. Mustofa Bisri ditempatkan di bagian subjudul “Puisi-puisi Gelap”, tetapi justru secara gaya ungkap bahasa sajak merupakan “puisi terang”:
HURUP-HURUP HIDUP
Hurup-hurup hidup
Hurup-hurup mati
Kurangkai-rangkai
Kujadikan setangkai kata
Ingin kusematkan
— Tersenyumlah! —
Di rekah bibirmu
Lalu tiuplah pelan-pelan
Biar bertebaran
Kalimat-kalimat keramat
Bagai manik-manik sorga
Di telaga
Hatiku.
1414
(Pahlawan dan Tikus, Cet.II-2005:5)
Tidak ada satu pun gambaran angan atau pikiran (citraan) yang sulit dimaknakan dari bahasa sajak tersebut. Semua ungkapan yang ada adalah “terang”. Bahkan, ungkapan yang bersifat metaforik sekalipun dipilihnya yang “terang” sehingga pembaca yang paling awam sastra sekalipun menjadi paham maksudnya. Gambaran peristiwanya ialah seseorang yang merangkai hurup-hurup menjadi “setangkai kata” bahkan menjadi “kalimat”, seperti halnya seseorang yang merangkai bunga. Sekalipun tidak ada kata “bunga” dalam sajak itu, tetapi “…/Kujadikan setangkai kata/ Ingin kusematkan/ —Tersenyumlah!—/…“ adalah gambaran seseorang yang merangkai bunga. Akan tetapi, siapakah dia yang diminta tersenyum “/Di rekah bibirmu/” lalu meniup “setangkai kata” : “…/Biar bertebaran/ Kalimat-kalimat keramat/ Bagai manik-manik sorga/ Di telaga/ Hatiku”? Apa yang ditiupkannya pelan-pelan sehingga menjelma menjadi “Kalimat-kalimat keramat”? Kata “keramat” itu berasal dari Bahasa Arab “karaamah” artinya kemuliaan, yang menjadi kata kunci untuk menjawabnya.
Menurut Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairiyah an-Naisaburi dalam Risalah Qusyairiyah bahwa “Karaamah merupakan aktivitas yang bertolak-belakang dengan adat di saat-saat pemaksaan dan merupakan realitas sifat kewalian tentang makna pembenaran dalam situasi (keadaan)-nya” (Penyadur, Faruk, 1998:525). Oleh karena itu, al-Asfarayaini berkata, “Para wali mempunyai karaamah yang menyerupai keterkabulan doa” (Ibid., 526). Dengan begitu, apa yang ditiupkannya pelan-pelan sehingga menjelma menjadi “Kalimat-kalimat keramat” di dalam sajak A. Mustofa Bisri itu ialah keterkabulan doa dari Wali Allah. Siapakah Wali Allah? Al-Qur’an (an-Nisaa’ [4]:144) menyatakan secara umum, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” Akan tetapi, al-Qur’an (Yunus [10]:62) juga menyatakan secara khusus tentang Wali Allah dengan mengingatkan, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Bahkan, al-Qur’an (al-A’raaf [7]:196) juga menegaskan bahwa Wali Allah, “Dia melindungi orang-orang yang saleh.”
Dengan demikian, sajak “Hurup-hurup Hidup” karya A. Mustofa Bisri tersebut memang “puisi terang”, bahkan menjadi teks “puisi penerang” bagi pandangan hidup pembaca jika dia mampu melakukan kontekstualisasi berdasarkan berbagai konteks yang menjadi referensinya. Di samping untuk mengkritisi secara kelakar berbagai fenomena gaya perpuisian Indonesia tersebut, dan “puisi terang” sebagai pilihan puitika A. Mustofa Bisri, maka kedua hal tersebut menjadikan jelas posisi perpuisiannya, yaitu bersama-sama dengan perpuisian Indonesia.
Oleh karenanya, ketiga, A. Mustofa Bisri justru memanfaatkan berbagai konvensi bahasa sajak yang hidup di dalam khazanah perpuisian Indonesia, tanpa khawatir dikatakan sebagai tidak memiliki karakter bahasa perpuisiaannya. Hal itu karena karakter perpuisian A. Mustofa Bisri terbangun bukan dari “keindahan luaran” bahasa sajak, melainkan terbangun dari “keindahan dalaman” puisinya, yaitu hikmah yang diperoleh dari sudut-pandang transendental aku-lirik terhadap realitas, baik realitas alam maupun realitas budaya. Dari situlah, bahasa sajak “hanyalah menjadi semacam formula saja” dari keindahan yang lebih bermakna, yaitu keindahan metafisik. Sebagaimana hal yang sama juga diungkapkan oleh Kuntowijoyo:
“Sebagai sebuah upacara bersih diri, sastra transendental menjadi sebuah ritual estetis. Simbol-simbol dalam sastra transendental berlalu sebagai formula-formula dari pesan pembersih. Jadi tujuan terakhir dari sastra transendental sebenarnya ialah manusia, bukan estetika itu sendiri. Karena hanya yang bermakna patut disebut sastra, maka sastra trandental harus sarat dengan makna. Sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap peradaban, kita ingin membuat dunia lebih bermakna, dan sastra adalah salah satu dari makna itu” (Dewan Kesenian Jakarta, 1984:157).
Sudut-pandang transendental tersebut, juga dilakukan oleh A. Mustofa Bisri pada seluruh sajaknya bahwa perpuisiannya secara wadag kebahasaan terlihat tidak memiliki keteraturan rima sehingga ungkapan-ungkapan puisinya tidak tampak puitis, sebagai contoh sajak berikut ini.
NGANGA-NGANGA LUKA
Nganga-nganga luka
Menggantikan mulut
mereka
Yang terkunci meminta
Tanah air
1994
(Rubayat Angin dan Rumput, 1995:33)
“Nganga-nganga luka/…” pada baris pertama itu masih ada persajakan akhir dengan dimunculkannya vokal a-a-a, tetapi baris kedua sampai akhir “…/ Menggantikan mulut/ mereka/ Yang terkunci/ Tanah air” adalah ungkapan yang tidak memperhitungkan keteraturan rima. Jika kita menilai “puisi” hanya pada aspek keindahan luaran yaitu ungkapan bahasanya saja, maka sajak A. Mustofa Bisri tersebut, bisa dianggap gagal sebagai “puisi”. Akan tetapi, sajak “Nganga-nganga Luka” itu sejak awal oleh penyairnya telah dibangun berdasarkan pada kesadaran transendental atas realitas sosial sehingga dalam persepsi aku-lirik, “Nganga-nganga luka/…” juga bisa “…/Menggantikan mulut/ mereka/ Yang terkunci meminta/ Tanah air.” Sajak tersebut ditulis pada masa rejim Orde Baru Soeharto ketika melakukan kekerasan terhadap rakyat yang menuntut “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bahkan memunculkan gerakan sparatis, seperti di Aceh dan Papua akibat kemakmuran yang tidak merata. Mereka yang melawan dibungkam, bahkan dengan kematian sehingga hanya “Nganga-nganga luka/…” itulah yang bisa “…/Menggantikan mulut/ mereka/ Yang terkunci meminta/ Tanah air.” Jadi, nilai “puisi” dari sajak A. Mustofa Bisri itu terbentuk bukan oleh keindahan luaran bahasa, melainkan terbentuk oleh keindahan dalamannya, yaitu maknanya.
Ritme Metafisik (Metaphisical Rythm)
Keindahan dalaman puisi semacam perpuisian A. Mustofa Bisri tersebut dapat dimengerti maknanya jika kita mengikuti temuan dari hasil penelitian Hagiwara Sakutaro tentang adanya ritme metafisik (metaphisical rythm) yang terdapat pada setiap puisi yang bagus, terutama sekali pada puisi transendental. Alasan Hagiwara Sakutaro ini dikutip secara panjang oleh Abdul Hadi W.M. bahwa :
“Puisi dapat dimaknakan puisi bukan hanya karena keteraturan rima, jumlah suku kata pada setiap larik atau kerat, pendek kata bukan karena susunan formalnya, melainkan karena “semangat puitik” (shisheisin) yang berada di baliknya.
Dalam pengertian yang sempit, menurut Hagiwara Sakutaro, ritme merupakan alunan irama atau gerakan temporal dari bunyi yang menghasilkan efek tertentu terhadap perasaan si pendengar. Dalam puisi, ritme seperti ini ditandai dengan pengaliran unsur-unsur fonetik bahasa seperti aksen, tekanan suara, nada dan lain-lain, yang disebut sebagai “ritme lahir”. Tetapi, di samping itu terdapat “ritme dalam” yang memberi pengaruh khusus terhadap perasaan, yakni ritme emotif (emotive rythm), dan dapat membawa pembaca ke alam transendental, yakni ritme metafisik (metaphisical rythm). Setiap sesuatu yang indah, terutama puisi transendental, memiliki ritme metafisik. Ritme metafisik terbentuk oleh makna, keindahan tamsil yang digunakan, penempatan kata-kata sesuai dengan struktur pikiran dan perasaan yang hendak diekspresikan, walaupun bentuk lahirnya kelihatan tidak teratur” (2001:207-208; dari Makoto Ueda, Modern Japanese Poets and the Nature of Literature, 1983:167-169).
“Ritme lahir” dalam puisi A. Mustofa Bisri dimunculkan melalui “ketidakteraturan tipografi” sehingga di saat kita membaca satu sajaknya akan dimungkinkan sajak itu bisa dibaca dengan beragam aksen, tekanan nada, dan penjedaan pada saat dilakukan pemutusan frase atau kalimat secara berbeda-beda. Bahkan, pada beberapa sajak, “ketidakteraturan tipografi” ini disengaja untuk peloncatan baris (enjambement) sehingga menimbulkan beragam interpretasi makna (poly interpretable) sekalipun hanya bertumpu pada satu sajak, sebagaimana pada sajak “Seporsi Cinta” berikut ini.
SEPORSI CINTA
(Diilhami oleh kekasih yang lapar)
Seporsi cinta
Tak habis dimakan
Berdua, sayang
Seporsi cinta
Bila tak habis dimakan
Dibuang sayang
1999
(Gandrung, 2000:33)
Baris sajak di atas bisa dibaca dengan penjedaan (ditandai dengan garis miring ), yang pertama : “Seporsi cinta/ Tak habis dimakan berdua/ sayang”. Kata “sayang” dengan cara pembacaan demikian dapat dimaknakan sebagai, “jangan disia-siakan”.
Pembacaan dengan penjedaan yang kedua : “Seporsi cinta tak habis dimakan berdua, sayang”. Pembacaan dengan setarikan nafas ini menjadikan kata “sayang” lebih pasti maknanya, yaitu sebagai sapaan kepada “sang Kekasih”.
Tipografi dalam perpuisian A. Mustofa Bisri yang dominan, justru disusun secara tidak konvensional seperti sajak “Seporsi Cinta” tersebut, yaitu tidak rata tepi kiri dan tidak rata tepi kanan, melainkan simetris di tengah (center). Hal demikian dapat dimaknakan sebagai penampakan tipografi yang seimbang (balance), karenanya menimbulkan makna harmoni. Justru karena itu, penulisan puisi menjadi tampak indah dipandang oleh pembaca.
Di samping itu, tipografi simetris perpuisian A. Mustofa Bisri ini dapat diposisikan sebagai simbol upaya manusia (aku-lirik) untuk melakukan keseimbangan, berdiri di tengah, tidak ekstrem kanan, dan tidak ekstrem kiri; memaknai keseimbangan antara yang tersurat (arti) dan yang tersirat (makna), yang wadag dan yang spiritual. Karena keseimbangan ini, maka setiap perilaku manusia tidak dimaksudkan sebagai perbuatan yang sia-sia, seperti dalam menyikapi “Seporsi cinta” yang “Tak habis dimakan/ Berdua…//”. Oleh sebab itu, jika “//Seporsi cinta/ Bila tak habis dimakan/”, maka janganlah “/Dibuang…” sebab hal itu tentu saja akan “…sayang”, akan sia-sia. Padahal, Allah tidak menyukai hal yang sia-sia (mubadzir), “innal mubadzdziriina kaanuu ikhwaanasy syayaatiina” (Sungguh para pemboros betul-betul saudara setan) (al-Qur’an, 17:27).
“Ketidakteraturan tipografi” ini digunakan secara berulang-ulang dalam perpuisian A. Mustofa Bisri sehingga memunculkan ketaraturan makna bagi pembaca. Walaupun bentuk tipografi (bagian dari ritme lahirnya) kelihatan tidak teratur, tetapi karena digunakan secara berulang-ulang, justru memunculkan ritme metafisik yang terbentuk oleh makna simbolitas tipografi itu, yakni makna keseimbangan antara yang tersurat dan yang tersirat, yang wadag dan yang spiritual.
Dari Tamsil dan Asosiasi Metafisik ke Hikmah
Mengapa ritme metafisik menjadi penting tatkala membicarakan nilai kesastraan maupun keagungan pemikiran suatu karya sastra? Berbicara pentingnya ritme matafisik ini pada hakikatnya kita membicarakan tentang keindahan pengalaman religius-mistik dan religius-profetik, maupun pengalaman estetik, yang dituliskan di dalam karya sastra, khususnya puisi. Hal tersebut secara panjang Abdul Hadi W.M. mengurai pemikiran al-Jili sebagai berikut (2001:76-77).
Al-Jili membagi keindahan sebuah puisi menjadi dua, yaitu keindahan luar (husn) dan keindahan dalam (jamal). Terdapat perbedaan besar antara kedua keindahan ini, walaupun keduanya saling memerlukan. Keindahan luar atau bentuk memang mempunyai daya pukau yang kuat, yang disebut sihir oleh al-Jili. Walaupun memukau, keindahan luar terbatas dan bersifat khusus (particular). Keindahan batin yang di dalam (jamal) kebalikannya adalah tidak terbatas dan universal. Kekuatan jamal terletak pada kandungan hikmahnya, yaitu pengetahuan tentang hakikat kehidupan. Dalam puisi hikmah berfungsi memperkaya batin pembaca (Braginsky, 1992). Karena sifatnya yang tak terbatas dan universal, serta dapat memperkaya batin itulah para penulis sufi lebih mengutamakan jamal dibandingkan dengan husn, tanpa mengecilkan peranan husn. Dalam puisi keindahan batin melahirkan makna. Maknalah yang merupakan struktur batin puisi. Sedang keindahan luar melahirkan shurah, yaitu bentuk yang ada di luarnya. Shurah adalah wakil makna di alam penampakan dan kehadirannya sepenuhnya ditentukan oleh makna. Shurah merupakan struktur fisik sebuah puisi.
Selanjutnya, tentang “ritme metafisik terbentuk oleh makna, …” itu juga diungkapkan oleh al-Jurjani, sebagai berikut.
“…karena yang diekspresikan seorang penyair di dalam puisinya ialah struktur pikiran dan perasaan serta struktur realitas yang kompleks, maka makna yang diturunkan oleh sebuah puisi ialah makna dari makna-makna (ma’na al-ma’na), yang membentang dari makna luar yang sempit, sampai makna dalam yang luas. Dalam membentuk lapisan-lapisan makna itu peranan tamsil atau citra simbolik sangat prinsip dan penting” (via Hadi W.M., 2001:209).
Tamsil (perbandingan, perumpamaan) metafisik tersebut dalam puisi A. Mustofa Bisri menimbulkan asosiasi metafisik. Sebagai contoh, bukan kebetulan dalam sajak-sajak cinta Gandrung karya A. Mustofa Bisri ditemukan judul-judul sajak memakai bahasa Arab, yang dari judulnya saja sudah menimbulkan asosiasi metafisik sehingga menjadi kata kunci memasuki dunia tasawuf : “Al’isyq” (2000:15, “Keasyikan” – pen; menurut Jalaluddin Rumi bahwa ‘isyq adalah cinta yang tidak terbilang banyaknya [Hadi W.M., 2001:36]), “Hanien” (2000:38; “Yang Dirindukan” – pen.), “Ilhaah 1” dan “Ilhaah 2” (2000:53-54; “Makna” – pen.), “Wakhsyah” (2000:60; “Gelisah” – pen.), “Syauq” (2000:61; “Kerinduan” – pen), “Insijam” (2000:62; “Gandrung” atau “Kepayang” – pen.), “Liqaa” (2000:66; “Pertemuan” – pen).
Jika penataan urutan sajak-sajak tersebut direnungi, juga menimbulkan asosiasi metafisik, yaitu mencerminkan tingkatan ke tingkatan (maqamat) perjalanan spiritual seorang salik (“salikun”, “salikin”= penempuh jalan keruhanian, [Hadi W.M., 2001:432]). Perjalanan keruhanian tersebut adalah “Al’isyq” (“cinta yang tidak terbilang banyaknya”) – “Hanien” (“Yang Dirindukan”) – “Ilhaah” (“Makna”) – “Wakhsyah” (“Gelisah”) – “Syauq” (“Kerinduan”), “Insijam” ( “Gandrung”) – “Liqaa” (“Pertemuan”). Urutan tersebut merupakan jalan tarekat (thariqah) menuju kepada Allah: dimulai dari “cinta yang tidak terbilang banyaknya” kepada Sang “Kekasih”/ “Yang Dirindukan”, yaitu Allah. Demi mencapai “Makna” rahasia ketuhanan itu sehingga sang Salik mengalami ke-“Gelisah”-an, mengalami “Kerinduan” yang luar biasa, sampai-sampai mengalami “Gandrung”. Akhir perjalanan keruhanian ini sampailah kepada “Pertemuan” dengan Allah.
Bandingkan, misalnya, tingkatan keruhanian yang disebutkan oleh Annemarie Schimmel (1981:37-38) dan Abu al-Wafa al-Taftazani (1983:85) mencakup : taubat, sabar, raja’ (harap), khauf (takut), faqir, zuhud, tauhid (selarasnya kehendak seorang hamba dengan kehendak Ilahi), tawakkul (ketergantungan penuh kepada Tuhan), dan mahabbah (cinta) yang termasuk di dalamnya syauq (rindu), uns (kekariban) dan ridla (rela).
Judul-judul sajak tersebut dalam perpuisian A. Mustofa Bisri berposisi sebagai citra simbolik, yang menimbulkan lapisan makna, dari makna luar yang memberi gambaran realitas empiris terbatas, sampai kepada makna dalam yang mengandung “hikmah” (kebijaksanaan). Oleh sebab itu, tamsil (perbandingan, perumpamaan) atau citra simbolik menjadi penting dalam perpuisian A. Mustofa Bisri sekalipun sajaknya disampaikan dengan “kesahajaan bahasa sajak”. Tamsil (perbandingan, perumpamaan) atau citra simbolik tersebut dalam perpuisian A. Mustofa Bisri sebagian meneruskan tradisi sajak sufi-penyair dan penyair profetik sebelumnya, dan sebagian lainnya merupakan temuan khas A. Mustofa Bisri. Demikian contohnya dalam “Sajak Cinta” (Gandrung, 2000:12-13), yang telah dikutip lengkap pada subbab sebelumnya :
…..
aku adalah jasad ruhmu
fayakun kunmu
aku adalah a-k-u
k-a-u
mu
Dua bait terakhir “Sajak Cinta” tersebut merupakan citra simbolik khas A. Mustofa Bisri, yang menimbulkan asosiasi metafisik, dan bersumber dari ungkapan al-Qur’an (Yasin [36] ayat 82): “Sungguh bila Dia menghendaki terjadinya suatu, cukuplah Dia perintahkan: “Jadilah!” dan terjadilah ia.” Sebagaimana perpuisian A. Mustofa Bisri lainnya, pada sajak tersebut pun telah dipersiapkan pemakaian tamsil metafisik seperti“…//aku adalah jasad ruhmu/ fayakun kunmu//” sebagai wujud kerinduan (syauq) sekaligus kedekatan (uns) kepada Sang Maha Kekasih. Dalam perspektif religius-mistik, ungkapan tersebut menggambarkan tawakkul (ketergantungan penuh) kepada Sang Maha Kekasih yang teramat dicintainya sehingga “aku” menjadi tidak ada sebab yang ada hanyalah “k-a-u/mu” (penyatuan mistik = fana). Dalam perspektif religius-profetik, ketergantungan penuh kepada Allah SWT itu berada dalam ungkapan , “… Allaahush shamad…” Allah-lah satu-satunya tempat bergantung (al-Ikhlash [112]:1-2].
Dengan demikian, memaknai bentuk lahir (shurah) puisi A. Mustofa Bisri secara mendalam akan sampai kepada makna batin puisi.***
Daftar Pustaka
Affifi, Abu al-Ala. 1964. The Mystical Philosopy 0f Muhyi al-Din al-‘Arabi. Cambridge: Cambridge University Press.
Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.
Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words). Magelang: Indonesiatera.
Bachri, Sutardji Calzoum.1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.
________. 1993. Tadarus (Antologi Puisi). Cet.II, 2003. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
________. 1995. Pahlawan dan Tikus (Kumpulan Puisi). Cet.II, 2005. Yogyakarta: Hikayat.
________. 1995. Rubayat Angin dan Rumput (Kumpulan Puisi). Jakarta: Majalah Humor bekerjasama dengan PT Matra Multi Media.
________. 1996. Wekwekwek (Sajak-sajak Bumilangit). Surabaya: Risalah Gusti.
________. 1998. Gelap Berlapis-lapis. Jakarta: Fatma Press.
________. 2000. Sajak-sajak Cinta, Gandrung. Rembang: Yayasan al-Ibriz.
________. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang Budaya.
________. 2006. Aku Manusia. Rembang: CV MataAir Indonesia.
________. 2008. Album Sajak-Sajak A. Mustofa Bisri. Ed. Ken Sawitri. Surabaya: MataAir.
________. 2009. “Meneguhkan Islam Budaya Menuju Harmoni Kemanusiaan”, Pidato Penganugerahan Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam Bidang Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
_________. 2016. Saleh Ritual Saleh Sosial. Yogyakarta: Diva Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.
Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.
________. 2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.
________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.
Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.
_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Ismail, Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.
Izutsu, Toshihiko. 2016. Sufisme: Samudra Makrifat Makrifat Ibn ‘Arabi. Jakarta: Mizan.
Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1). Jakarta: PT. Gramedia.
_______. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.
_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1988.
Mohamad. Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.
Rachman, Budhy Munawar. “Pengalaman Religius dan Logika Bahasa”. Jakarta: Ulumul Qur’an, No. 6, Juli-September 1990.
Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Cet. II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Schimmel, Annemarie. 2005. Menyingkap Yang-Tersembunyi. Terj. Saini K.M. Cet. I. Bandung: Mizan.
Wachid B.S., Abdul. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
________. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.
[1] Penulis adalah seorang penyair, dan Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.